Jumat, 03 Januari 2014

SASTRA


Jalan Mana?

Terik mentari di pasir kering penuh dahaga laksana gurun sahara, suara riuh anak-anak dengan baju rancangan desainer yang tak ada duanya, sepatu empuk yang nyaman serta alat musik kesayangan mereka menemani perbincangan mereka tentang kocek yang mereka dapatkan hari ini.
Jal berkata,” kapan ya uangku kumpul buat beli sandal? ” (sampil memainkan sandalnya ke tanah). “Sudah jangan sedih, nanti kalo aku kaya aku beliin deh buat kamu”, jawab  Anto.  “Ngimpi kamu”, Timpal Sarah dengan ketus. Lalu anto pun menjawab dengan santai, “Mimpi itukan sah aja buat siapa saja, gak ada yang larang agar kita semangat meraihnya. Iya to?”  “betul juga”, timpal  ijol.

Pandangan mereka pun beralih pada sosok wanita yang mengenakan gaun ungu dengan balutan jilbab yang panjang.
“Asalamu’alaikum adik-adik yang manis”, sapa gadis itu.
“Wa’alaikum salam’’, jawaban yang tidak kompak dan terdengar lirih.
“Ayo semangat, kan mau belajar. Nanti kalau semangat kakak beri hadiah”, motivasi Zahra agar anak-anak tetap semangat.

Zahra adalah seorang sarjana keguruan yang pernah juga mendapat pendidikan di pondok pesantren yang tak jauh dari rumahnya. Ia tercatat sebagai guru honorer di Sekolah Menengah Pertama Negeri dengan gaji yang  sedikit. Dengan gaji yang ia terima ia mampu membantu anak-anak jalanan di sekeliling lingkungan pasar. Dengan kepribadiannya yang baik ia mampu mengambil hati anak-anak.

Suatu pagi saat zahra hendak berangkat ke sekolah ia seperti ragu entah apa yang menahan langkah kakinya. Ia berusaha  untuk tidak menghiraukan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Ceria pun kembali pada diri Zahra setelah melihat tingkah lucu para muridnya.
“Kaifa haluk ya ukhti?”, sapa Ummi Fatimah (guru agama).
Zahra menjawab dengan senyum yang mengembang,”Bikhair, walhamdulillah umi”.
“Syukurlah. Kapan nih mau meninggalkan masa lajangnya?”, tanya Ummi Fatimah. “ Hemb mohon doanya ya mi, cepet ketemu”, jawab Zahra.

Terik mentari memanggang kulit-kulit mungil anak-anak jalanan yang dengan semangatnya berteman dengan debu jalanan, serta asap-asap dari kenalpot kendaraan yang melintas. Terdengar riuh mereka saat bintang merah bersinar, itu tandanya mereka harus menghambiri ladang dolar mereka. terdengar sayup-sayup dari kejauhan suara dari tubuh mungil

“koran, koran”, suara Ijal. Terdengar juga penggalan dari lirik lagu milik raja dangdut, “dan bumi sebagai lantainya, dan langit sebagai atapnya”.
Lagu ini begitu ia hayati, mungkin serupa dengan skenario tuhan yang harus ia jalani.

Di sisi lain Mak Ijah sedang cemas, cucu kesayangannya belum pulang. Ia duduk di kursi usang yang berada pada ruang kecil bagian belakang, bertembok merah berpetak di hadapannya mangkuk nasi yang bersembunyi dalam tudung nasi yang tertutup rapat. Beberapa menit ia mengintip jam dinding ruang tamu yang terlihat dari tempat duduknya. Si Ijal tak kunjung datang. Wanita dengan daster yang telah luntur warnanya tak bisa menahan rasa kecemasannya, terlihat matanya sudah berkaca-kaca.  Kumandang seruan sholat pun sudah terdengar, bergegas mak ijah mengambil air wudhu dan membasuh tubuhnya.  

“kamu apa gak mikirin anakmu Min? jam segini belum pulang. Kamu gak mikirin anakmu sudah makan apa belum. Di mana hatimu sebagai ibunya?”, ungkap Mak Ijah. “Biarin aja mak, biar pulang bawa uang yang banyak.”, jawab wanita berambut panjang itu.

Bintang nan mungil di atap semesta raya sebagai penerang malam. Jari mungil menyisir uang bergambar patimura itu serta uang koin yang berserakan di atas trotoar.
“Alhamdulillah hari ini lumayanlah buat dibawa pulang.”, ujar Ijal sambil menghitung uang yang didapatnya.
Dalam hatinya masih takut untuk pulang karena ibunya pasti akan memarahinya jika ia tidak membawa uang sebesar permintaan ibunya. Raut wajahnya mulai lesu, lamunannya mulai melayang dalam rintik hujan teringat pada awal mula ia mengenal kehidupan jalanan.
Semenjak Pak Joko meninggal karena penyakit liver yang dideritanya. Ayah kandungnya yang menyayanginya ini meninggal disaat Ijal berumur 4 tahun. Mungkin saja jika ayahnya ini masih  hidup ia tak akan bekerja keras melawan kerasnya hidup di jalanan. Walaupun kini ia sudah memiliki ayah pengganti namun ayah tirinya juga takut kepada ibunya, walau Suparman telah melarang ibunya yang acuh dan membiarkan Ijal hidup di jalanan. Ahirnya gugatan cerai dari Ibu Ijal dilayangkan pada suparman yang menyayangi Ijal.

Pagi itu minggu diawal Desember, senyum mentari pagi menghangatkan badan Zahra mengantarkan ibunya untuk mencari ikan patin yang merupakan santapan favorit ayahnya.seperti biasa tempat ini selalu ramai bahkan berdesak-desakkan untuk berjalan. Kegiatan orang yang menawarkan, menawar dan juga memanggul kotak yang berisi ikan-ikan segar diantar pada pedagang sekitar.
“Mi, mau cari apa lagi”, tanya zahra dengan lembut.
“ Nanti di toko pojok depan itu beli jeruk dulu”, jawab Ummi sambil berjalan menunjuk toko yang dimaksud.

Sesampainya diujung pertokoan itu, suara orang sangat ramai karena toko ini memang terkenal karena keramahan pedagangnya yakni Hj. Maryatun. Sehingga anak-anak jalanan pun memanfaatkan keramaian pembeli sebagai ladang untuk mengais rejeki. Dalam kerumunan pemilik jari mungil terlintas wajah Ijal sekejap Zahra memanggilnya ia mengenali dari baju yang menjadi kekhasannya itu.
“Hei ingat kan kalau nanti jam 4 kita belajar bareng di pelataran masjid?”, tanya Zahra. Ijal pun menjawab dengan semangat,”Iyah kakak”.
“Oh iya ntar ajak teman lainnya ya!”, pinta Zahra pada Ijal. “Ok kakak cantik”, jawab Ijal.
Langkah  Ijal pun menghilang dari pengelihatan Zahra. Kini ia terfokus dengan ibunya yang sedang asyik memilih buah. Sekantong plastik jeruk sudah di tangan ibunya, wajah riang karena semua keperluan telah tercukupi oleh-Nya. Alhamdulillah semua yang menjadi kebutuhanku dapat tercukupi, inilah nikmat yang harus ku syukuri. Mungkin aku harus belajar dari Ijal yang selalu bersyukur dan tak pernah mengeluh dengan kekurangannya.

Sore itu anak-anak sudah berkumpul di pelataran masjid, dari kejauhan nampak gadis turun dari motor bersusah payah dengan membawa buku-buku serta papan tulis mini tanpa dikomando sarah kecil menghampiri gadis ini dan menawarkan diri untuk membawakan barang yang ia bawa.  Mereka terlihat begitu gembiranya berkumpul bersama, belajar bersama dan bermain bersama. Inilah waktu berharga mereka yang tak pernah mereka rasakan selain mencari uang dan memberi setoran yang telah ditentukan oleh preman bahkan salah satu dari mereka yakni ijal yang dibuang ibunya di jalanan.
Bagi ijal Jalanan adalah rumahnya di sinilah ia menemukan teman-teman yang menjadi tempat ia mengadu mencurahkan semua keluh kesah serta kesedihan yang ia rasakan.

Mungkin tiba di  rumah setelah isya’ bukan hal mengkhawatirkan untuk ibu Ijal yang ia pikirkan adalah berapa uang yang dibawa Ijal. Waktu itu hujan turun dengan deras, Minah tetap asyik dengan remote control memilih acara yang menarik untuknya. Keasyikannya terganggu oleh suara ketukan pintu dengan suara lirih  karena menggigil kedinginan.
“ Asalamu’alaikum Mak”, salam Ijal dengan rasa ketakutan.
“Wa’alaikum salam. Dapet berapa? Sini uangnya”, tanya minah dengan kesal.
 Belum sempat Ijal menjawab Minah sudah mengambil dengan paksa uang dalam genggamannya. Ia tak tahu apa sebabnya ibunya ini tidak pernah peduli dengannya, yang ia sayang hanya uang yang ijal bawa itu lebih penting dari dirinya. Betapa hancur hatinya, menyaksikan cucunya pulang dengan basah kuyup seperti ini. Nenek Ijal meneteskan air mata lalu menggandeng tangan Ijal dan berjalan mengarah dapur. “Ngger gek ndang mandi, ni nenek siapin air panasnya. Trus gek makan”, kata Nenek Ijal.
Ijal pun menuruti apa yang diperintahkan neneknya ini. Setelah mandi ia mendapati Minah menunggunya dengan membawa pecut, ia sudah terbiasa dan mengerti kenapa Minah membawa pecut.
“ Sini kamu Jal. Ngapain seharian tadi? Ini kurang uang yang kamu bawa.”, pecut Minah pun melayang ke punggung bocah itu.
“Ampun Mak, ampun. Ijal sudah berusaha Mak.”, rengek Ijal sambil meneteskan air mata agar ibunya mengasihaninya. Rintihannya tak didengar oleh Minah, kini punggungnya sudah berubah menjadi merah, dan Ijal merasa bahwa tubuhnya sudah remuk dan ntah seperti apa yang ia rasakan. Minah berhenti karena mungkin sudah lelah dan puas memukuli anak kandungnya ini.

Kini tiba lagi dihari Minggu, seperti biasa anak-anak belajar membaca, menulis, dan berhitung ketika ba’da Ashar. Diantara anak-anak tak nampak Ijal yang biasanya hadir dalam kegiatan ini. Ternyata Ijal sedang sakit akibat cambukan dari ibunya. Setelah kegiatan belajar Zahra diantar Anto untuk pergi ke rumah Ijal. Kini Zahra pun berhadapan dengan Minah dan obrolan pun terjadi.
“Maaf bu, bukan maksud saya untuk mencampuri urusan ibu. Ijal masih kecil bu, alangkah lebih baik jika ia tidak dipaksakan untuk berjualan koran di jalanan. Seharusnya ia belajar di kelas, berkumpul, dan bermain dengan teman sebayanya.”, ucap Zahra dengan ragu.
“ Ya Min, udah to jangan maksa anakmu buat cari uang apa lagi mbok gebuki”, timpal Mak Ijah.
“Trus, saya harus bagaimana?”, jawab Minah.
“Saya punya saudara bu di pesantren Darusalam. Jika ibu mengizinkan Ijal bisa belajar di sana.”, ungkap Zahra.
“Saya tidak memiliki biaya jika Ia harus masuk ke pesantren.”, kata Minah.
“ Ibu tidak usah memikirkan biayanya, itu akan saya usahakan. Yang terpenting ibu mengizinkan Ijal ke pesantren.”, jawab Zahra.

Dari pembicaraan tersebut ahirnya Minah mengizinkan Ijal untuk belajar di Pesantren Darusalam. Ahirnya Ijal berangkat bersama Zahra menuju Pesantren Darusalam yang terletak di Kota Kediri.  Di sana ia bertemu dengan pamannya yang menjadi pemimpin pondok, K.H. Sodiq namanya. Zahra pun menyampaikan maksud kedatangannya dan memperkenalkan Ijal kecil. Semoga Ijal betah dan kerasan dengan lingkungan dan teman barunya.

Di Kediri ketika ia berjalan mengelilingi pesantren yang mengingatkan dirinya pada masa kecilnya di pesantren. Ia pun dikagetkan dengan kehadiran pemuda dengan baju koko, sarung, peci, dan kitab yang dibawanya.
“Asalamu’alaikum ning, ning Zahra kan?”, tanya pemuda itu.
“Benar, njenengan sinten nggeh?”, tanya Zahra.
“Muhammad Ali, ning.” Jawab pemuda itu.
Zahra pun teringat pada seseorang yang tinggal bersama pamannya.
“oalah, kang Ali yang tinggal di tempat abah Sodiq.”, ungkap Zahra.

Obrolan demi obrolan berlangsung menambah kedekatan mereka dalam keislaman. Sekembalinya Zahra di ndalem dan berpamitan pada pamannya, Beliau pun mengungkapkan lamaran Ali pada Zahra. “Paman tidak memaksa, tapi tapi Ali ustadz yang bertanggung jawab dan cocok menjadi pendampingmu ndug.”, ungkap Sodik. “Iya paman Zahra setuju jika ini menurut paman baik untuk Zahra”, jawab Zahra.

Zahra kembali ke Lampung dengan hati yang bahagia. Berharap apa yang ia lakukan bermanfaat bagi orang lain dan dalam rahmat Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar