Jalan Mana?
Terik mentari di
pasir kering penuh dahaga laksana gurun sahara, suara riuh anak-anak dengan
baju rancangan desainer yang tak ada duanya, sepatu empuk yang nyaman serta
alat musik kesayangan mereka menemani perbincangan mereka tentang kocek yang
mereka dapatkan hari ini.
Jal berkata,” kapan
ya uangku kumpul buat beli sandal? ” (sampil memainkan sandalnya ke tanah). “Sudah
jangan sedih, nanti kalo aku kaya aku beliin deh buat kamu”, jawab Anto.
“Ngimpi kamu”, Timpal Sarah dengan ketus. Lalu anto pun menjawab dengan
santai, “Mimpi itukan sah aja buat siapa saja, gak ada yang larang agar kita
semangat meraihnya. Iya to?” “betul
juga”, timpal ijol.
Pandangan mereka pun
beralih pada sosok wanita yang mengenakan gaun ungu dengan balutan jilbab yang
panjang.
“Asalamu’alaikum
adik-adik yang manis”, sapa gadis itu.
“Wa’alaikum salam’’,
jawaban yang tidak kompak dan terdengar lirih.
“Ayo semangat, kan
mau belajar. Nanti kalau semangat kakak beri hadiah”, motivasi Zahra agar
anak-anak tetap semangat.
Zahra adalah seorang
sarjana keguruan yang pernah juga mendapat pendidikan di pondok pesantren yang
tak jauh dari rumahnya. Ia tercatat sebagai guru honorer di Sekolah Menengah
Pertama Negeri dengan gaji yang sedikit.
Dengan gaji yang ia terima ia mampu membantu anak-anak jalanan di sekeliling
lingkungan pasar. Dengan kepribadiannya yang baik ia mampu mengambil hati
anak-anak.
Suatu pagi saat
zahra hendak berangkat ke sekolah ia seperti ragu entah apa yang menahan
langkah kakinya. Ia berusaha untuk tidak
menghiraukan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Ceria pun kembali pada diri
Zahra setelah melihat tingkah lucu para muridnya.
“Kaifa haluk ya
ukhti?”, sapa Ummi Fatimah (guru agama).
Zahra menjawab
dengan senyum yang mengembang,”Bikhair, walhamdulillah umi”.
“Syukurlah. Kapan nih
mau meninggalkan masa lajangnya?”, tanya Ummi Fatimah. “ Hemb mohon doanya ya
mi, cepet ketemu”, jawab Zahra.
Terik mentari
memanggang kulit-kulit mungil anak-anak jalanan yang dengan semangatnya
berteman dengan debu jalanan, serta asap-asap dari kenalpot kendaraan yang
melintas. Terdengar riuh mereka saat bintang merah bersinar, itu tandanya
mereka harus menghambiri ladang dolar mereka. terdengar sayup-sayup dari
kejauhan suara dari tubuh mungil
“koran, koran”,
suara Ijal. Terdengar juga penggalan dari lirik lagu milik raja dangdut, “dan
bumi sebagai lantainya, dan langit sebagai atapnya”.
Lagu ini begitu ia
hayati, mungkin serupa dengan skenario tuhan yang harus ia jalani.
Di sisi lain Mak Ijah
sedang cemas, cucu kesayangannya belum pulang. Ia duduk di kursi usang yang
berada pada ruang kecil bagian belakang, bertembok merah berpetak di hadapannya
mangkuk nasi yang bersembunyi dalam tudung nasi yang tertutup rapat. Beberapa
menit ia mengintip jam dinding ruang tamu yang terlihat dari tempat duduknya.
Si Ijal tak kunjung datang. Wanita dengan daster yang telah luntur warnanya tak
bisa menahan rasa kecemasannya, terlihat matanya sudah berkaca-kaca. Kumandang seruan sholat pun sudah terdengar,
bergegas mak ijah mengambil air wudhu dan membasuh tubuhnya.
“kamu apa gak
mikirin anakmu Min? jam segini belum pulang. Kamu gak mikirin anakmu sudah
makan apa belum. Di mana hatimu sebagai ibunya?”, ungkap Mak Ijah. “Biarin aja
mak, biar pulang bawa uang yang banyak.”, jawab wanita berambut panjang itu.
Bintang nan mungil di
atap semesta raya sebagai penerang malam. Jari mungil menyisir uang bergambar
patimura itu serta uang koin yang berserakan di atas trotoar.
“Alhamdulillah hari
ini lumayanlah buat dibawa pulang.”, ujar Ijal sambil menghitung uang yang
didapatnya.
Dalam hatinya masih
takut untuk pulang karena ibunya pasti akan memarahinya jika ia tidak membawa
uang sebesar permintaan ibunya. Raut wajahnya mulai lesu, lamunannya mulai
melayang dalam rintik hujan teringat pada awal mula ia mengenal kehidupan
jalanan.
Semenjak Pak Joko
meninggal karena penyakit liver yang dideritanya. Ayah kandungnya yang
menyayanginya ini meninggal disaat Ijal berumur 4 tahun. Mungkin saja jika
ayahnya ini masih hidup ia tak akan
bekerja keras melawan kerasnya hidup di jalanan. Walaupun kini ia sudah
memiliki ayah pengganti namun ayah tirinya juga takut kepada ibunya, walau
Suparman telah melarang ibunya yang acuh dan membiarkan Ijal hidup di jalanan. Ahirnya
gugatan cerai dari Ibu Ijal dilayangkan pada suparman yang menyayangi Ijal.
Pagi itu minggu
diawal Desember, senyum mentari pagi menghangatkan badan Zahra mengantarkan
ibunya untuk mencari ikan patin yang merupakan santapan favorit ayahnya.seperti
biasa tempat ini selalu ramai bahkan berdesak-desakkan untuk berjalan. Kegiatan
orang yang menawarkan, menawar dan juga memanggul kotak yang berisi ikan-ikan
segar diantar pada pedagang sekitar.
“Mi, mau cari apa
lagi”, tanya zahra dengan lembut.
“ Nanti di toko pojok
depan itu beli jeruk dulu”, jawab Ummi sambil berjalan menunjuk toko yang
dimaksud.
Sesampainya diujung
pertokoan itu, suara orang sangat ramai karena toko ini memang terkenal karena
keramahan pedagangnya yakni Hj. Maryatun. Sehingga anak-anak jalanan pun
memanfaatkan keramaian pembeli sebagai ladang untuk mengais rejeki. Dalam
kerumunan pemilik jari mungil terlintas wajah Ijal sekejap Zahra memanggilnya ia
mengenali dari baju yang menjadi kekhasannya itu.
“Hei ingat kan kalau
nanti jam 4 kita belajar bareng di pelataran masjid?”, tanya Zahra. Ijal pun
menjawab dengan semangat,”Iyah kakak”.
“Oh iya ntar ajak
teman lainnya ya!”, pinta Zahra pada Ijal. “Ok kakak cantik”, jawab Ijal.
Langkah Ijal pun menghilang dari pengelihatan Zahra. Kini
ia terfokus dengan ibunya yang sedang asyik memilih buah. Sekantong plastik
jeruk sudah di tangan ibunya, wajah riang karena semua keperluan telah
tercukupi oleh-Nya. Alhamdulillah semua yang menjadi kebutuhanku dapat
tercukupi, inilah nikmat yang harus ku syukuri. Mungkin aku harus belajar dari
Ijal yang selalu bersyukur dan tak pernah mengeluh dengan kekurangannya.
Sore itu anak-anak
sudah berkumpul di pelataran masjid, dari kejauhan nampak gadis turun dari
motor bersusah payah dengan membawa buku-buku serta papan tulis mini tanpa
dikomando sarah kecil menghampiri gadis ini dan menawarkan diri untuk
membawakan barang yang ia bawa. Mereka
terlihat begitu gembiranya berkumpul bersama, belajar bersama dan bermain
bersama. Inilah waktu berharga mereka yang tak pernah mereka rasakan selain
mencari uang dan memberi setoran yang telah ditentukan oleh preman bahkan salah
satu dari mereka yakni ijal yang dibuang ibunya di jalanan.
Bagi ijal Jalanan
adalah rumahnya di sinilah ia menemukan teman-teman yang menjadi tempat ia mengadu
mencurahkan semua keluh kesah serta kesedihan yang ia rasakan.
Mungkin tiba di rumah setelah isya’ bukan hal mengkhawatirkan
untuk ibu Ijal yang ia pikirkan adalah berapa uang yang dibawa Ijal. Waktu itu
hujan turun dengan deras, Minah tetap asyik dengan remote control memilih
acara yang menarik untuknya. Keasyikannya terganggu oleh suara ketukan pintu
dengan suara lirih karena menggigil
kedinginan.
“ Asalamu’alaikum Mak”,
salam Ijal dengan rasa ketakutan.
“Wa’alaikum salam.
Dapet berapa? Sini uangnya”, tanya minah dengan kesal.
Belum sempat Ijal menjawab Minah sudah
mengambil dengan paksa uang dalam genggamannya. Ia tak tahu apa sebabnya ibunya
ini tidak pernah peduli dengannya, yang ia sayang hanya uang yang ijal bawa itu
lebih penting dari dirinya. Betapa hancur hatinya, menyaksikan cucunya pulang
dengan basah kuyup seperti ini. Nenek Ijal meneteskan air mata lalu menggandeng
tangan Ijal dan berjalan mengarah dapur. “Ngger gek ndang mandi, ni nenek
siapin air panasnya. Trus gek makan”, kata Nenek Ijal.
Ijal pun menuruti
apa yang diperintahkan neneknya ini. Setelah mandi ia mendapati Minah
menunggunya dengan membawa pecut, ia sudah terbiasa dan mengerti kenapa Minah
membawa pecut.
“ Sini kamu Jal.
Ngapain seharian tadi? Ini kurang uang yang kamu bawa.”, pecut Minah pun
melayang ke punggung bocah itu.
“Ampun Mak, ampun.
Ijal sudah berusaha Mak.”, rengek Ijal sambil meneteskan air mata agar ibunya
mengasihaninya. Rintihannya tak didengar oleh Minah, kini punggungnya sudah
berubah menjadi merah, dan Ijal merasa bahwa tubuhnya sudah remuk dan ntah
seperti apa yang ia rasakan. Minah berhenti karena mungkin sudah lelah dan puas
memukuli anak kandungnya ini.
Kini tiba lagi
dihari Minggu, seperti biasa anak-anak belajar membaca, menulis, dan berhitung
ketika ba’da Ashar. Diantara anak-anak tak nampak Ijal yang biasanya hadir
dalam kegiatan ini. Ternyata Ijal sedang sakit akibat cambukan dari ibunya. Setelah
kegiatan belajar Zahra diantar Anto untuk pergi ke rumah Ijal. Kini Zahra pun berhadapan
dengan Minah dan obrolan pun terjadi.
“Maaf bu, bukan
maksud saya untuk mencampuri urusan ibu. Ijal masih kecil bu, alangkah lebih
baik jika ia tidak dipaksakan untuk berjualan koran di jalanan. Seharusnya ia
belajar di kelas, berkumpul, dan bermain dengan teman sebayanya.”, ucap Zahra
dengan ragu.
“ Ya Min, udah to jangan
maksa anakmu buat cari uang apa lagi mbok gebuki”, timpal Mak Ijah.
“Trus, saya harus
bagaimana?”, jawab Minah.
“Saya punya saudara
bu di pesantren Darusalam. Jika ibu mengizinkan Ijal bisa belajar di sana.”,
ungkap Zahra.
“Saya tidak memiliki
biaya jika Ia harus masuk ke pesantren.”, kata Minah.
“ Ibu tidak usah
memikirkan biayanya, itu akan saya usahakan. Yang terpenting ibu mengizinkan Ijal
ke pesantren.”, jawab Zahra.
Dari pembicaraan tersebut
ahirnya Minah mengizinkan Ijal untuk belajar di Pesantren Darusalam. Ahirnya
Ijal berangkat bersama Zahra menuju Pesantren Darusalam yang terletak di Kota
Kediri. Di sana ia bertemu dengan
pamannya yang menjadi pemimpin pondok, K.H. Sodiq namanya. Zahra pun
menyampaikan maksud kedatangannya dan memperkenalkan Ijal kecil. Semoga Ijal
betah dan kerasan dengan lingkungan dan teman barunya.
Di Kediri ketika ia
berjalan mengelilingi pesantren yang mengingatkan dirinya pada masa kecilnya di
pesantren. Ia pun dikagetkan dengan kehadiran pemuda dengan baju koko, sarung,
peci, dan kitab yang dibawanya.
“Asalamu’alaikum
ning, ning Zahra kan?”, tanya pemuda itu.
“Benar, njenengan
sinten nggeh?”, tanya Zahra.
“Muhammad Ali,
ning.” Jawab pemuda itu.
Zahra pun teringat
pada seseorang yang tinggal bersama pamannya.
“oalah, kang Ali
yang tinggal di tempat abah Sodiq.”, ungkap Zahra.
Obrolan demi obrolan
berlangsung menambah kedekatan mereka dalam keislaman. Sekembalinya Zahra di
ndalem dan berpamitan pada pamannya, Beliau pun mengungkapkan lamaran Ali pada
Zahra. “Paman tidak memaksa, tapi tapi Ali ustadz yang bertanggung jawab dan
cocok menjadi pendampingmu ndug.”, ungkap Sodik. “Iya paman Zahra setuju jika
ini menurut paman baik untuk Zahra”, jawab Zahra.
Zahra kembali ke
Lampung dengan hati yang bahagia. Berharap apa yang ia lakukan bermanfaat bagi
orang lain dan dalam rahmat Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar